search engine

Senin, 09 Februari 2015

The same route

Siang ini saya sedang mengalami dilema berkepanjangan. Bukan seperti anak muda jaman sekarang, yang saya alami kali ini berbeda.
Saya tidak tahu-menahu tentang gaya bahasa tingkat tinggi jadi saya hanya menggunakan bahasa yang mudah di pahami, khususnya untuk saya sendiri.

Saya merasa di hantui oleh suatu kejadian yang sulit saya mengerti. Saya telah Lulus SMA dengan perasaan yang biasa saja, bukan karena saya tidak bersyukur atas kelulusan ini. Tapi di sisi lain hal itu membuat saya gusar.
Simple sekali, saya merindukan masa putih abu-abu. Di mana waktu itu saya sangat risih ketika di paksa berseragam lengkap dengan atributnya. Betul, saya di paksa bukan kehendak sendiri.
Sering saya merasa belajar itu membosankan, makanya saya mengajak teman-teman untuk pulang di waktu jam pelajaran, sekedar bermain yang penting bukan belajar. Beda sekali di waktu SMP mungkin kalau kami melakukan hal itu, besoknya kami langsung di introgasi tepat di depan teman-teman yang asik mentertawakan tingkah laku kami yang sedang di ceramahi. Sedangkan di tingkat SMA hal itu sudah terlalu ke kanak-kanakan, jadi kami hanya di loloskan begitu saja. Sebenarnya bukan di biarkan tapi para guru sedang mengumpul beberapa bukti untuk membuat Surat Peringatan.
Ketika surat itu sudah di tangan, barulah kami bingung bukan kepalang.

Saya selalu tersenyum bahagia karena masih dapat mengingat secara detail pengalaman indah itu.

Beda, sekarang saya telah lulus dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi Swasta bukan Negeri. Inilah dampaknya ketika dulu saya selalu berleha-leha dan menganggap enteng semua mata pelajaran. Terutama Matematika. Bukan karena saya menguasai materinya tapi justru otak saya menolak ketika disuap Matematika.
Saya sungguh membenci belajar, sampai-sampai menjelang Ujian Nasional saya begitu percaya dengan Kunci Jawaban yang beredar. Padahal kunci itu hanya mitos.

Semasa kuliah, saya selalu melewati jalan yang sama saat saya pergi ke sekolah dulu. Bedanya ketika di perempatan itu belok kiri. Kali ini saya harus jalan lurus. Lurus entah kemana.
Jadwal masuknya pun berbeda. Kalau dulu saya harus malas-malasan pergi ke sekolah tiap hari, sekarang hanya 5 hari dengan waktu yang cukup singkat. Tapi anehnya malah membuat saya semakin malas. Saya ingin suasana kelas seperti dulu, yang ketika saya masuk langsung di sambut suara gemuruh teman-teman yang sibuk mencari contekan PR. Bukan sekarang yang malah di diamkan karena sibuk dengan Laptopnya. Mungkin mereka telah beranjak dewasa. Tapi tolonglah jangan menunjukan sifat dewasa kalian di hadapan saya. Karena saya belum siap. Saya masih ingin seperti dulu.

Pagi itu jalanan sangat padat. Walaupun telat, saya hanya mengendarai dengan kecepatan 40km/jam. Saya sangat bosan ketika di perjalanan. maka untuk mempersingkat waktu, saya sering membayangi kejadian-kejadian lucu apa saja. Seperti biasa, lamunan tersebut selalu di balap dengan kenangan masa lalu. Tambah lagi perjalanan itu di barengi dengan anak-anak SMA yang berangkat sekolah. Mereka adalah pengendara terburuk, karena tidak mementingkan keselamatan melainkan mementingkan jam masuk sekolah. Sangat tergesa-gesa takut keterlambatannya mencapai 3x yang berarti akan mendapat Surat Peringatan. Sepertinya saya banyak tau tentang Surat Peringatan. Iya memang semua berdasarkan Pengalaman saya yang tidak jarang di panggil ke Ruangan Bimbingan dan Konseling.

Saya hanya tertawa di balik helm yang saya kenakan. Seakan-akan mereka sombong sekali memamerkan seragam putih abu-abunya.
Hei ayolah, saya juga pernah memakai seragam itu.
Lalu tepat di perempatan, saya langsung terdiam karena tidak mengikuti mereka untuk berbelok ke kiri. Saya harus lurus lagi.

Pernah suatu kali saya merasa amat sedih. Ketika harus memimpikan sesuatu yang indah tapi mimpi itu terjadi secara berulang-ulang. Sehingga membuat saya lemah karena mimpi yang indah itu tidak mampu menjadi kenyataan. Mungkin karena terlalu indah.
Saya bermimpi ketika masih berseragam. Persis sekali dengan kejadian setahun lalu. Saya bertemu dengan sahabat-sahabat di kelas. Belajar seperti biasa. Dan merasakan nikmatnya masakan kantin. Senangnya bukan main. Saya selalu mengucapkan 'terimakasih semoga ini bukan mimpi' tapi itu memang hanya mimpi. Lalu ketika terbangun, saya langsung tersentak menahan tangis. Padahal mata saya sudah berkaca-kaca, tapi saya tidak mau menangis hanya karena sebuah mimpi. Saya sungguh membenci mimpi indah. Karena semua itu sulit di realisasikan.

Orang bilang dengan mudahnya 'bertemulah dengan mereka supaya tidak seperti ini' apa kalian yakin? Sekarang mereka tidak seperti dulu lagi. Bertemu? Saya sudah lelah dengan jawaban mereka yang selalu sibuk ketika saya ajak. Apa kalian tidak ingin meluangkan waktu sibuk kalian itu? Saya heran kenapa kalian suka dengan kesibukan?
Kadang untuk menyadarkan mereka, saya harus menggunakan kata-kata tentang perpisahan atau kata apa saja yang menurut saya sedih. Tapi mereka tetap tidak berubah dan memilih kesibukan sebagai teman mainnya.

Saya tidak ingin terus-menurus seperti ini. saya hanya ingin bertemu dan meluapkan rasa kangen. Apa semua ini tidak membuktikan bahwa saya sangat menginginkan kalian kembali?

Pagi itu datang lagi. Saya bertemu mereka yang berseragam serupa. Saling kejar dengan waktu. Kali ini saya menangis, tapi tidak benar-benar menangis. Kira-kira hanya beberapa tetes. Lalu segera saya usap karena saya malu dengan pakaian bebas yang saya kenakan. Saya ingin suatu saat bisa berbelok kiri lagi. Saya ingin mengendarai lebih dari 40km/jam lagi. Dan saya ingin menempati tempat duduk yang selama setahun ini saya tinggalkan.
Saya tidak mampu lagi menahan emosi ketika di kejutkan dengan kenangan-kenangan lalu. Saya tidak peduli lagi jika tangis ini harus keluar membeludak dan akan saya pamerkan kepada kalian betapa menderitanya saya. Lalu saya akan tertawa kencang dan bertanya dengan santun, Sampai kapan saya harus berjalan lurus?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar